Sunday, February 2, 2014
Penjengah yang Dermawan
Jemari lentik menari anggun di atas selembar benda putih yang biasa di sebut kertas. Menorehkan sagaris demi segaris hitam pekat yang membentuk suatu kesatuan. Gegempita hati begitu ingin ditumpahkannya. Karena suatu saat dia terbangun dari tidur dan sadar bahwa tameng transparan miliknya telah perlahan runtuh, meluruh seperti hujan yang sering bergemuruh di kota kenangan.
Guncangan dunia di dalam dirinya membuat dia sering termenung dan termangu dari pagi hingga malam. Figur nyaman yang telah dimilikinya pergi berlibur ke pulau subtropis. Menepikan dirinya yang tak kunjung menggunakan nalar. Geram dia mencari, sering dia hilang kendali.
Orang bilang dia gila karena tak pernah menerima. Dirinya yang berdiri di antara garis usai dan tak usai. Dirinya yang sering dikurung sejarah dan tak urung jengah dengan rayuan gombal sang sejarah.
Hingga akhirnya dia menjadi..... Seorang penjengah yang dermawan membagi cuma-cuma keraguannya.
Frekuensi dia, kamu, dan mereka tak selalu sama namun bisa saja menguatkan atau menghancurkan satu sama lain. Kau berani. Sedang dia bahkan takut mengeluarkan frekuensinya. Tak ada nilai yang berani dia pancarkan. Dia hanya punya sumber mungil dan ringkih yang dia sebut hati, masih berani dia sebut hati, yang bahkan begitu malasnya tuk menancarkan frekuensi. Frekuensi Hati.
Jemari lentik itu tak lagi membuat suatu sketsa. Di remukannya kertas tak berdosa itu. Hingga ketika di hamparkan lagi, tampak urat-urat di seluruh permukannya. Dilemparkannya kertas itu ke dalam kantong yang diberi nama masa lalu.
Hilang lah dia dalam kegaduhan yang dibuat dunia. Sesatlah dia ke dalam kehiru-pikukan kota kenangan. Cantik wajahnya, putih kulitnya. Sering disebut kembang desa lah dia.
Namun di balik meja sana, dia kerjanya hanya menggambar sketsa, lalu meremukan hasil karyanya.
Adalah dia seorang wanita yang telah kehilangan kedua sayapnya. Dicabut dengan paksa keduanya. Sehingga terlihat pangkal yang kemerahan dengan bulu-bulu halus seperti kapas.
Adalah dia yang telah dengan gegabah membiarkan tamu di teras hatinya, masuk ke dalam ruang berkapasitas satu orang saja. Mengambil semua taruhannya di atas meja judi. Wanita itu, tak memiliki apa-apa yang tersisa disana. Walau telah berjudi hampir dari sepertiga hidupnya.
Karena judi itulah dia tak menguntung apa-apa, bahkan berhutang sedemiakan besarnya.
Seusai itu pun, dia masih tertidur dan terbangun seperti itu saja.
Seperti itu...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment