Seorang anak tidak bisa memilih kapan dan dimana dia
dilahirkan. Seorang anak lahir ke dunia benar-benar seperti kertas kosong yang
putih bersih tanpa isi apapun. Seorang anak tidak bisa memilih siapakah kelak
orang tuanya. Sejak pertama kali seorang bayi dihantarkan ke dunia melalui
manusia lain, maka saat itulah detik pertamanya dimulai di dunia. Dia tidak
diberi pilihan orang tua macam apa yang kelak akan membesarkannya, atau bahkan
tidak akan membesarkannya sama sekali. Dia tidak lah diberikan pandangan apapun
terhadap latar belakang orang tuanya. Apakah orang tuanya merupakan orang tua
yang rukun? Orang tua yang sudah siap? Orang tua yang sudah dewasa? Orang tua
yang sudah berencana? Tidak, semua itu bukan pilihan yang dia miliki. Namun,
siapa dan apa orang tua mereka, merupakan awal dari masa hidup mereka, pondasi
dari watak dan karakter mereka, awal dari segala perjalanan yang kelak akan
ditempuh mereka di dunia dan kelak akan berdampak ke kehidupan abadi mereka di
akhirat.
Anak merupakan titipan dari Tuhan. Analoginya, seorang
bayi jika terlahir ke dunia merupakan jiwa yang dihantarkan oleh Tuhan agar
bisa memiliki petualangannya sendiri di dunia. Melalui Rahim seorang manusia
lain yang disebut ibunya, oleh benih yang diberikan seorang manusia lain yang
disebut bapaknya, maka jiwa itu memiliki portal untuk masuk ke dunia. Sebagai
seorang pengasuh sebuah jiwa yang dititipkan oleh Tuhan, pertanggung jawaban
pasti lah ada dan oleh karena itu perencanaan seharusnya sudah dilakukan.
Namun, jika melihat kenyataan yang ada di dunia ini, tidak sedikit kan Anak
yang tidak diharapkan dan akhirnya tidak dirawat dengan selayaknya?
Anak tidak bisa memilih apakah mereka dititipkan kepada
orang tua yang sudah membaca bervolume-volume buku parenting, apakah kepada
orang tua yang bahkan belum berganti seragam sekolah ke putih abu-abu, apakah
kepada orang tua yang sudah resmi menikah, apakah kepada orang tua yang cukup
harta, apakah kepada orang tua yang punya kehidupan yang baik, sesungguhnya
tidak ada pilihan yang tersedia bagi mereka sebelum mereka dihantarkan ke dunia
ini, tidak ada.
Pertanyaannya adalah, lantas salah siapa jika anak yang
kelak jadi manusia dewasa pada akhirnya tidak bisa menjadi seseorang yang
mendapatkan kehidupan yang mencapai standar baik dan benar? Standar yang dibuat
oleh komunitas, standar dibuat oleh masyarakat, standar yg dibuat oleh negara,
standar yang dibuat oleh dunia, standar yang dibuat oleh Tuhan. Salah siapa?
Baik dan benar nya apapun di dunia ini, didapat pertama
kali dari orang tua. Selanjutnya dari lingkungan. Anak menyerap apapun yang
dilihat, didengar, diraba, diecap, dan dibaui oleh dirinya sehingga dia
menampung informasi tersebut di dalam otaknya dan kelak dijadikan acuan dalam
mengambil keputusan. Bagaimana pula jika baik dan benar yang dia dapatkan ternyata salah?
Setelah dewasa, anak akan mulai menelaah kembali
nilai-nilai yang mereka dapatkan terdahulu ketika mereka belum bisa membedakan
salah dan benar sendirinya, ketiak mereka belum baligh. Disini daya analisis akan meningkat, dan pertimbangan pun mulai
dilakukan. Nilai baik dan benar menjadi lebih bias, tidak ajeg dan tegas,
banyak yang sudah menjadi relatif. Padahal sesungguhnya, bagi seorang yang
beragama, maka nilai baik dan benar itu tidaklah ada yang relatif karena sudah
tercantum dalam ayat-ayat dan ajaran agama. Sedangkan bagi yang berwarga negara
maka baik dan benar sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan negara. Lantas
bagaimana dengan seseorang yang tidak begitu baik diajarkan agama dan
undang-undang oleh keluarganya? Oleh lingkungannya? Bukankah proses yang akan
mereka alami menjadi lebih berliku dan rumit? Bukankah mereka akan tiba disaat
ketika apa yang telah mereka pahami akan berbenturan dengan fakta-fakta dan
informasi yang terdahulu mereka dapatkan, sehingga adanya proses analisis dan
juga penelahan yang panjang sebelum bertindak, lalu hasil dari proses analisis
belum tentu pula menghasilkan sesuatu yang tidak salah. Merupakan proses yang
tidak sederhana bukan?
Anak merupakan kertas putih kosong begitu dia pertama
kali tiba di dunia. Dapatkah pensil menuliskan kalimat dengan sendirinya diatas
kertas kosong tersebut jika tidak ada tangan yang menuliskannya? Lantas
bagaimana jika tangan tersebut tak pandai menulis kalimat dan cerita yang baik?
Bagaimana jika tangan tersebut merupakan penulis yang buruk? Lebih parahnya
lagi bagaimana jika tangan tersebut tak tau bagaimana caranya menulis? Tak tau
apa itu huruf dan angka? Tak tau apa itu pensil? Bagaimana proses yang akan diamali
oleh kertas tersebut agar bisa menjadi suatu buku dengan cerita yang indah di
dalamnya jika pensil dituliskan secara asal oleh tangan-tangan jahil dan
perusak? Bahkan malaikat pun mempertanyakan kepada Tuhan tentang diturunkannya
manusia ke bumi yang cenderung menjadi perusak dan pemicu pertumpahan darah.
Anak memang diperuntukan untuk berjuang. Anak yang sudah
dewasa dan beruntung dapat memiliki hidup yang baik diberikan kesempatan untuk
mempersiapkan kehidupan yang baik pula bagi anak penerus mereka. Itulah prinsip
reproduksi. Proses menghasilkan keturunan untuk meneruskan diri mereka, untuk
mempertahankan generasi mereka. Apakah setiap manusia ingin mempertahankan
generasi mereka? Generasi apa yang ingin mereka pertahankan? Adakah hal yang
patut untuk dipertahankan? Adakah sesuatu yang dapat membawa kebermanfaatan
bagi dunia jika generasi tersebut terlestarikan? Jawabannya adalah bisa ya dan
bisa tidak.
Kita sebagai manusia kelak akan menjadi orang tua,
itupun jika kita menginginkan hal tersebut. Menjadi orang tua bukan lah hal
yang melankolis terkait hati dan perasaan. Namun menjadi orang tua, apalagi
orang tua kandung yang bereproduksi secara langsung, merupakan bentuk
pertahanan yang kita lakukan untuk meneruskan eksistensi kita sebagai manusia di
dunia ini. Melalui anak kita, maka Tuhan mengizinkan ktia untuk bisa
mempertahankan eksistensi kita melalui genetic yang dibawa mareka ketika kelak
kita sudah memasuki kehidupan abadi selanjutnya yang tidak ada jaminan apakah
masih ada yang namanya eksistensi di kehiduapn abadi tersebut.
Orang tua dan anak
merupakan jiwa-jiwa yang terjebak dalam tubuh yang dapat menua dan mati. Namun
jiwa itu tetap abadi hingga di kehidupan setelah tubuh tidak lagi dapat
berfungsi. Manusia adalah jiwa dan tubuh ketika menjadi satu. Ketika tubuh
sudah tak sanggup menampung jiwa, karena jiwa adalah suatu yang immortal
sedangkan tubuh adalah suatu yang mortal, maka di saat itulah keabadian yang
dapat disadari dimulai dan sebutan manusia berubah menjadi ruh.
Pendapat Saya adalah, menjadi orang tua sudah tentu
bukan sesuatu yang mudah. Ya, proses untuk mempertahankan eksistensi merupakan
sesuatu yang berliku. Namun, ini bukan eogisme semata dengan tujuan untuk
mempertahankan eksistensi diri sendiri, ini lebih kepada dimana jiwa-jiwa akan
mengajari seorang jiwa baru agar bisa hidup dengan selayaknya di dunia. Dimana
kelak peran akan selalu terganti dan siklus di dunia akan selalu berputar
sehingga tidak ada benang merah yang terputus. Sehingga dunia akan terus
terurus dengan baik dan menjadi lahan layak tinggal bagi jiwa-jiwa baru. Namun
ketika kiamat tiba, maka mungkin itulah batas dari kedatangan jiwa-jiwa baru di
dunia yang sekarang kita tinggali. Dimana reproduksi jiwa, mungkin sudah tidak
dibutuhkan lagi. Jiwa hanya akan menjadi jiwa tanpa sebutan anak ataupun orang
tua.
No comments:
Post a Comment