Thursday, November 20, 2014

Seberapa pentingkah akademik?

On this opportunity, I want to write about my opinions . I want to share my thought about how my perspective towards academic and IPK.

Banyak orang yang mencemooh bagaimana orang-orang sangat mempedulikan nilai mereka. Banyak orang mencemooh ada orang yang memilih untuk belajar tekun dan mengurangi kegiatan selain belajar. Banyak orang yang berkata bahwa ‘IPK mu tidak menjamin keberhasilanmu!’, lantas
bagaimana pendapat saya tentang itu?


Menurut saya IPK itu penting. Saya bukan orang yang memiliki orientasi di bidang entrepreneurship, saya tau bahwa saya belum memiliki minat terhadap itu. Saya orang yang ingin bekerja di perusahaan atau melanjutkan S2 di luar negeri. Bagi saya IPK penting karena merupakan kunci untuk membuka pintu ke jalan menuju impian saya, dan it’s okay bagi orang-orang diluar sana yang tidak setuju.

Saya seorang mahasiswa tingkat 3 pertengahan, sekarang di semester 5. Saya mengambil jurusan Kimia di Fakultas Mipa universitas Gadjah Mada. Sudah sejak SMA kelas 1 saya menempuh pendidikan di Yogyakarta, mempunyai mimpi untuk masuk UGM semenjak kelas 1 SMP dan berjuang keras untuk itu hingga akhirnya tercapai sekarang. Sempat ingin masuk FKH, FK dan Teknik Kimia. Namun, Alhamdulillah Tuhan punya rencana lain dan meletakkan saya di jurusan Kimia.

Dari SMA bahkan SMP, saya sudah menyukai segudang aktivitas organisasi dan kepanitian. Saya mengikuti Tonti, sempat Osis, Basket, dan macam-macam kepanitian skala kecil ataupun besar. Pulang sekolah pada saat SMA sebenarnya jam setengah 2. Namun karena harus mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, saya biasa pulang jam 5 sore, bahkan habis magrib ataupun malam. Hampir setiap hari dalam seminggu saya menghabiskan waktu sampai magrib di sekolah, rapat, latihan tonti atuapun latihan basket. Bahkan saat liburan semester hampir tiap hari tetap datang ke sekolah untuk rapat dan membahas kegiatan. Malamnya saya lanjutkan les bahasa inggris 3 kali seminggu atau les privat 2 kali seminggu. Begitu seterusnya hingga kelas 3 SMA, dan saya memutuskan untuk vakum dari organisasi dan kegiatan pada saat kelas 3 SMA setelah selesai mengketuai suatu event Try Out untuk anak SMP kelas 3 pada tahun 2011. Saya ingin focus belajar untuk tes masuk ke perguruan tinggi.

Bagaimana tanggapan keluarga saya terhadap kesibukan saya diatas tadi? Mama saya sering menelpon, mengingatkan untuk pulang dan jaga kesehatan. Datok dan Nenek saya sering sekali menegur saya secara lembut dan bahkan terkadang keras tentang kebiasaan saya pulang malam dan jarang dirumah. Tanggapan saya? Kesal sih ya pernah, sering mempertanyakan kenapa mereka tidak mendukung kegiatan saya padahal ini positif, namun ya sudah, saya bisa buktikan bahwa dengan segudang kegiatan saya, saya tetap tidak akan mengalami hal yang paling ditakutkan keluarga saya, yaitu nilai saya jeblok atau ranking rendah.

Seringkali teman saya mungkin melihat saya sebagai anak yang pintar, rajin, atau apalah, namun itu semata-mata saya lakukan untuk keluarga saya, dan tentu pembuktian pada diri sendiri, bahwa saya tidak akan lupa dan tetap bertanggung jawab terhadap akademik saya. Dan saya hanyalah anak yang berjuang lebih keras karena saya tau bahwa saya bukan seorang yang genius atau super cerdas yang dapat memahami materi dalam sekali baca.

Tok, Nek, Ma, pernahkan saya mengecewakan kalian dengan nilai rapot saya? Dengan IP saya? Bukankah saya selalu dengan tenang dan perasaan menang menunjukan rapot dan IP saya kepada kalian? Perasaan menang saya dapatkan karena saya berhasil mempertanggung jawabkan kewajiban saya sebagai pelajar. Saya tidak pernah kan mengecewakan jerih payah kalian dalam membiayi saya sekolah dan kuliah? Saya selalu bisa mempertanggung jawabkannya bukan? Saya tau bahwa kita bukan keluarga yang berlimpah harta nya, maka dari itu saya sadar bahwa saya harus bisa memberikan yang terbaik dalam bidang akademik saya karena itu bentuk bantuan saya terhadap keadaan keluarga.

Ya, lelah memang, terkadang saya sering menangis diam-diam ketika beban tanggung jawab organisasi, kepanitian dan akademik begitu terasa terlalu berat.  Jujur saja, semua orang pernah jatuh, namun saya bangkit lagi.

Pernahkah saya collapse? Sering. Saya sering sakit, drop, ke dokter karena kecapekan. Sering kali saya pusing karena kebanyakan begadang dan duduk lama di depan laptop. Segudang kegiatan kadang tidak diimbangi dengan istirahat cukup, makan yang makanan yang sehat dan juga olahraga. Tidak, saya bukan mengeluh, hanya saja saya ingin memberitahu, bahwa perjuangan saya memang seperti ini, dan saya merasa bahwa perjuangan ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan orang-orang yang telah sukses diluar sana.

Saya ingin memiliki kehidupan yang sukses dan bahagia. Saya tau semua itu harus dicapai dengan hard working dan struggling luar biasa berat. Toh mana ada mendaki gunung yang gak capek. Pemandangan indah di atas sana worth to suffering for. Worth to fighting for.  So, I never doubt about how much happiness would I get when I know that I am already suffering for it.
Kutipan favorit saya ambil dari Albert Einstein, yaitu :

“Sesulit apapun MASALAH yang kau hadapi, JANGAN PERNAH MENYERAH! Ingatlah, orang-orang HEBAT lahir dari kesulitan yang LUAR BIASA.”

Orang-orang hebat semacam Albert Einstein, John Nash, Galileo Galilei,   Ludwig van Beethoven, Alexander Graham Bell, Steve Jobs, Mark Zuckeberg, Marie Curie, Bacharuddin Jusuf Habibie, Dan Brown dan banyak lagi lainnya lahir dari kesulitan luar biasa. Silahkan cari biografi mereka, adakah kata-kata bahwa, ‘Pencapaian mereka saat ini mereka capai dengan mudah?’.

Tak jarang saya merunduk menangis, bersujud putus asa mememinta bantuan dan belas kasih kepada Allah. Tak jarang saya marah dan mengamuk protes kenapa cobaan yang saya hadapi begitu berat. Namun, semua itu merupakan fase dan masa yang harus dilewati bukan?

Semua orang boleh kan memilih jalan hidup mereka? Semua orang bolehkan berbeda tindakan karena mereka telah memutuskan skala prioritas mereka? Bolehkah mereka memilih jalan beberbeda untuk mencapai impian mereka?

Maka dari itu, saya menyatakan bahwa sesibuk apapun saya di organisasi dll, saya pasti tetap mempriotaskan akademik saya, kerena akademik itu sangat penting bagi saya, keluarga saya, dan merupakan step saya untuk mencapai impian saya. 



Tuesday, November 11, 2014

Might this letter comes to you, Bapak.


Tulisan ini untuk Bapak.
Ya, bukan bapak saya, tapi bapaknya Bang Ade, anak bungsu kesayangan bapak.

Bapak, selamat beristirahat. Selamat jalan, saya yakin bapak telah tenang sekarang. Terbebas dari rasa sakit yang dari tahun 2011 diketahui menghinggapi tubuh bapak. Bapak telah berjuang, bapak kuat, Allah tau itu.

Pak, kita berdua hanya pernah bertemu saat Ade wisuda. Singkat, Pak. Tidak mungkin cukup untuk kita saling mengenal. Namun, saya sudah merasa sangat mengenal bapak, melalui cerita-cerita dari Ade, dan jauh lebih mengenal setelah saya dengar kisah-kisah yang saling dilemparkan oleh ibu, anak-anak bapak dan keluarga bapak setelah kepergian bapak. Semuanya pasti cerita baik pak. Tawa, canda dan senyum saling dilemparkan ketika mengenang bapak.

Saya jadi tau apa kebiasaan bapak, jalan yang sering dilalui bapak di Pontianak, apa makanan kesukaan bapak, bahkan baju mana yang sering bapak pakai semasa hidup.

Pak, Kamis Pagi, tanggal 6 November 2014, Ade menelpon saya mengabari keadaan bapak. Mendengar suara parau dan tertahan dari anak bapak, mengatakan kalau bapak koma. Saya menangis pak. Saya takut keluarga bapak akan kehilangan bapak, saya bisa merasakan kesedihan mendalam yang dirasakan keluarga bapak.

Pak, saya ingin menjenguk bapak. Tapi terlambat, Pak. Saya datang, tepat sebelum bapak dimakamkan. Di hari Jumat keesokannya, sehabis hujan. Bau tanah yang dibasuh air hujan melepas kepergian Bapak. Maaf Pak belum sempat menjenguk dan salim lagi sama Bapak.

Pak, saya ingin berterima kasih. Bapak telah menjadi bapak yang luar biasa, dan anak-anak bapak sungguh anak-anak yang beruntung mempunyai bapak seperti bapak Addy Moelono. Bapak kuat, bapak menjadi tauladan bagi anak-anak bapak dan bapak sangat melindungi keluarga Bapak.
Saya merasa beruntung bisa bersama dengan anak hasil didikan bapak, yaitu Ade. Dan Ade bukanlah Ade Setio Nugroho jika bukan karena didikan bapak.
Saya juga merasa senang bisa mengenal Mbak Eka, Mas Bowo, dan Mbak Neni. Anak-anak kesayangan bapak.
Saya juga senang bisa mengenal Ibuk, wanita tercinta bapak. Ibuk yang tabah dan kuat.

Pak, Ade sering bertanya kepada saya. Apa bapak bahagia dengan apa yang telah diberikannya kepada bapak hinga saat terakhir? Saya langsung senyum Pak. Saya jawab tentu bapak sudah puas. Dilimpahi kasih sayang dan perhatian dari anak bapak yang tida tara nya. Bapak pasti pergi dengan bahagia, apalagi anak-anak bapak dengan kompak menjaga Ibunya.

Sudah ya, Pak. Itu dulu. Semoga saya bisa menjadi bagian dari keluarga bapak, terima saya kelak ya.
Bahagia disana ya Pak, di sisi Allah dan Rasulullah. Semoga mendapatkan rumah yang indah di surga untuk peristirahatan terakhir, Barakallah.

Pontianak, 10 November 2014.
Waiting room bandara Supadio.
Di kala badai hujan, menunggu boarding untuk pulang ke Yogyakarta.
Zaneta Descara