Sunday, September 6, 2020

Parenting journey: Thank you and goodbye breastmilk

    
    Ini kemungkinan besar adalah 3 kantong asip terakhir yang akan kuberikan pada Ikram. Tiga belas bulan kurang 8 hari, adalah usia dimana Ikram mendapatkan asi terakhir nya. Sedangkan aku sudah lupa kapan terakhir dia menyusu langsung dariku.
    Aku sudah 4 hari tidak memerah payudaraku utk mendapatkan asi. Berkali-kali aku tanyakan pada diriku, apakah aku sudah 100% siap untuk menghentikan pemberian asi? Berkali-kali kutanyakan pula pada suamiku, apakah dia ridho dengan keputusanku untuk menghentikan pemberian asi? Sungguh, perasaanku campur aduk. 
    Proses memerah asi hampir selalu menjadi proses yang tidak menyenangkan akhir-akhir ini. Posisi yg tidak nyaman sering membuat punggung pegal. Mempersiapkan asip utk siap diminum pun membutuhkan usaha yang lebih dibandingkan dengan menyiapkan sufor. 
    Selama ini seperti ada beban yang tersisa sehingga aku masih berusaha untuk memberikan asip walaupun hanya sedikit. Mungkin kelak Ikram pun ketika besar tidak akan mempermasalahkan perihal seberapa lama aku memberinya ASI. Tapi, bagaimana dengan diriku? Siapa yang bisa menyangkal kebanggaan yang bisa dirasakan oleh para ibu yang bisa memberikan anaknya ASI hingga 2 tahun, bahkan banyak yang lebih. Luar biasanya lagi, ada segelintir ibu yang berhasil mempertahankan pemberian ASI melalui perahan.
    Mulai usia 9 bulan, dengan penuh kesadaran, aku dan suami memutuskan untuk menyusui Ikram hanya ketika tidur malan. Walau anehnya, Ikram sudah beberapa kali mogok menyusu sebelum keputusan tersebut kami ambil. Kalau ku ingat-ingat lagi, tak lama sebelum itu, saat ikram mogok nyusu, betapa galaunya diriku untuk mengembalikan minat ikram menyusu padaku, perasaanku terluka, aku patah hati mendapatkan penolakan dari Ikram, lalu sekitar 2 hari kemudian, tiba-tiba Ikram mau menyusu lagi, aku menangis terharu karena itu. Lucunya, hanya beberapa minggu setelah kejadian itu, giliran aku yang malah harus melarang Ikram untuk menyusu badan. Ikram menjadi semakin mandiri, dia jadi pintar tidur sendiri tanpa perlu dikelonin.

ASIP terakhir yang Ikram minum

    
Ah, air mataku menetes ketika menulis ini. Sepertinya aku memang masih sedih karena kehilangan momen menyusui yang begitu hangat diantara aku dan Ikram. Tapi, sepertinya, tanpa proses menyusui pun, aku masih bisa menjadi sumber kenyamanan dan kehangatan bagi Ikram, ya kan?
    Bagaimana ya perasaanku dalam beberapa tahun ke depan ketika melihat kembali perjalanan menyusui ku dengan Ikram? Apakah menyesal? Apakah aku bisa menepuk pundakku dan merasa bahwa aku sudah melakukan yang terbaik yang sehat bagi jiwaku? Atau, apakah aku masih membayangkan bagaimana perasaan bangga yang bisa aku kenang jika aku berhasil menyusui hingga 2 tahun? Pernah terbayang, bahwa kelak dengan bangga aku bisa bercerita bahwa aku berhasil menyusui hingga 2 tahun dan bisa menyapih dengan cinta. Wow, indah sekali bukan?
    Saatnya menerima ketidaksempurnaan dan tetap berusaha utk memberikan hal-hal terbaik lainnya bagi, Ikram. Aku putuskan, mulai hari ini, aku resmi untuk move on dari ASI. Terima kasih, Ya Allah, atas kesempatan yang begitu berharga bagi diri ini. Mudah-mudahan ini memang jalan takdir terbaik yang telah Engkau siapkan bagi keluarga kami.

Saturday, September 5, 2020

Parenting journey: 1 tahun Ikram, 1 tahun Ibu, 1 tahun Bapak

    Wow, sungguh sekarang baru bisa dikatakan betapa waktu sungguh cepat sekali barlalu. Anakku, Ikram, sudah menginjak usia 1 tahun! Itu berarti aku dan suami sudah resmi juga menjadi sepasang orang tua selama 1 tahun. Usia 1 tahun bagi Ikram mungkin hanya seklebat mata jika dialami oleh orang dewasa seperti kami, akan tetapi, 1 tahun itu merupakan awal kehidupan Ikram yang begitu banyak warna-warninya. 

    Betapa sangat terekam diingatanku, pertama kali Ikram mulai mengangkat kepalanya ketika tummy times. Lalu waktu berlalu dan dia mulai bisa mengenggam mainan dengan tangannya, lalu dia mulai bisa tersenyum, tertawa dan mengoceh. Fase oral pun mulai dialaminya. Segala macam barang diemutnya. Lalu pada usia 4 bulan, dia mulai tengkurap sendiri. Pada masa itu, kami tidur masih di kasur atas, lalu akhirnya mau tidak mau kami tidur di kasur bawah karena Ikram mulai merayap di usia 5.5 bulan. Begitu cepat perkembangannya, betapa beruntungnya diriku dapat menyaksikan setiap perkembangan yang dialami Ikram. Pada usia 7 bulan dia mulai duduk tegak dari posisi merayap. Usia 8 bulan dia mulai merangkak dan berdiri berpegangan. Lalu usia 9 bulan dia mulai merambat. Semakin sering mengoceh, semakin sering tertawa, semakin kelihatan karakternya.

    Ikram, sekarang kamu sudah 1 tahun, kamu sedang melancarkan kemampuan berjalanmu. Kamu sudah bisa menyuapi Ibu dan Bapak sesuatu. Kamu sudah bisa merengek minta digendong atau protes jika kami mengabaikanmu bermain sendirian. Bapak dan Ibu semakin merasa bahwa bonding diantara kita semakin kuat. Walau demikian, Ibu masih sering bertanya ke Bapak, 'Ikram sayang kita gak, ya?', yang pasti langsung dijawab cepat dengan Bapak, 'Ya, sayang, dong!'. 

    Kehidupan 3.5 bulan pertama Ikram lalui di Pontianak. Lalu 1.5 bulan kemudian Ikram aku ajak ke Yogyakarta. Pada usia 5.5 bulan, Ikram akhirnya sampai di Tangerang, untuk bisa tinggal dengan Bapaknya. Finally, kami bisa tinggal bertiga satu atap. Orang yang paling bahagia dengan hal ini tentu saja adalah Bapak, karena sudah berbulan-bulan dia jauh dari kami berdua. Semenjak tinggal bareng, sangat terasa bahwa bonding di antara Bapak dan Ikram semakin erat. Bapak semakin mengerti mengartikan kemauan Ikram, dan Ibu juga semakin mengerti Bapak. Kami bertiga semakin memahami satu sama lain.

    Ikram mungkin tidak akan terlalu ingat dengan masa-masa 1 tahun pertamanya. Namun dengan kemajuan teknologi, sepertinya akan mudah bagi Ikram untuk melihat kembali dokumentasi-dokumentasi yang Ibu dan Bapak simpan rapi. Ikram akan bisa lihat ekspresi Ikram ketika pertama kali naik pesawat. Ibu dan Bapak juga bisa menceritakan ke Ikram bagaimana kami kewalahan menidurkan Ikram di pesawat, padahal Ikram sudah terbiasa tidur di kasur.

    Satu tahun Ikram hidup, sangat sering Ikram mengunjungi rumah sakit atau puskesmas untuk divaksin dan diimunisasi. Pun karena ada masalah dengan pertumbuhan tubuh Ikram, kami jadi sangat sering mengunjungi dokter anak untuk mencari solusi terbaik. Aku sudah tidak memberikan Ikram ASI sama sekali semenjak Ikram 1 tahun, saat menulis sebenarnya masih ada 3 kantong asip yang tersimpan di kulkas, tapi masih ragu untuk aku berikan. 

       Pandemi COVID-19 menjadi tamu awal tahun 2020 ketika Ikram baru saja tinggal di Tangsel selama 2 bulan. Memaksa bapak untuk kerja di rumah sehingga hikmahnya bonding Bapak dan Ikram semakin erat. Tapi, kami akhirnya tidak banyak jalan-jalan dan menetap di rumah saja. Ternyata tak begitu masalah untuk Ikram, tapi menjadi cobaan bagi diriku yang sering dilanda kejenuhan dengan aktivitas di rumah. Walau sepertinya, dampak pandemi ini tidak seberapa menimpa keluarga kami dibandingkan dengan banyak orang di luar sana.

Telaga sampierun, Ikram usia 13 bulan kurang 8 hari. Tanggal 6 Sep 2020

        Satu tahun, Ikram menjadi bagian dari Ade dan Anet. Satu manusia kecil ini sekarang seperti menjadi arah tujuan hidup kami yang utama. Untuk hitungan waktu, satu tahun seperti sekelebat mata. Tapi ternyata, jika dituangkan dalam kisah-kisah, banyak sekali yang bisa dibaca. 




Sunday, July 12, 2020

Parenting journey: Controllable vs Uncontrollable


Salah satu pelajaran menjadi orang tua baru yang saya dapatkan adalah belajar membedakan apa yang bisa dan tidak bisa dikontrol dalam hal mengurus anak. Tetapi, pemahaman itu tidak hanya bisa saya terapkan dalam parenting, tapi juga ke dalam banyak aspek kehidupan yang lainnya. Mungkin akan saya tuliskan lain kali.
Sebagai orang tua, porsi yang bisa saya control adalah seberapa jauh saya bisa berusaha. Saya tidak bisa mengkontrol apakah usaha tersebut akan membuahkan hasil yang sesuai dengan idealisme saya. Bukan seperti matematika, dimana ketika menambahkan satu dengan satu, maka hasilnya adalah dua.
Berbagai saran dari beberapa pakar dan teori-teori yang saya baca, saya coba untuk terapkan kepada anak saya. Tapi ternyata tidak ada rumus yang bisa saya terapkan ke anak saya. Saya bisa saja sudah pontang panting mencoba banyak hal, tetapi akan tidak sehat untuk jiwa dan fisik saya jika saya tidak bersiap mendapatkan kegagalan.
Contoh yang sedang saya alami sekarang adalah anak saya mengalami kenaikan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang masuk ke golongan 'red flag' jika kita mengacu pada grafik pertumbuhan dari WHO. Tentu saja, itu menjadi masalah bagi saya, karena saya sudah ada membaca tentang pentingnya mengantisipasi gagal tumbuh di 1000 hari pertama kehidupan (HKT). Pengetahuan akan dampak jangka pendek dan panjang dari gagal tumbuh membuat saya sempat memicu kecemasan saya. Tidak mau berlarut-larut, saya langsung ingin mengambil tindakan untuk mencegah hal itu terjadi. Tetapi, setelah beberapa saat menjalani prosesnya, saya memyadari bahwa paham akan batasan diri, adalah kunci dari menjadi tetap mindful terhadap proses membesarkan anak tanpa dikendalikan dengan ambisi dari ego semata.

Sekarang saya sudah paham apa saja yang bisa saya kontrol, yaitu:
  1. Prespektif saya terhadap growth chart WHO. Saya tidak bisa hanya berpatokan dengan grafik itu untuk bisa melabeli tumbuh kembang (TK) anak saya, karena setiap anak itu sangat unik, tetapi…
  2.   Selalu ada kemungkinan terburuk dari setiap masalah, maka, saya tetap berkonsultasi ke pakarnya untuk mencari kemungkinan adanya masalah medis atau silent disease yang menyebabkan terganggunya pertumbuhan anak saya
  3.  Melakukan pemeriksaan medis yang masih dalam jangkauan keluarga saya, tentu saja ada waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dan ini merupakanm pilihan, karena kondisinya bukan gawat darurat
  4. Menjalankan saran yang diberikan sesuai dengan kesanggupan kami
  5. Tidak memaksakan kehendak kepada anak sampai membuat dia tertekan, karena anak belum paham arti dari tindakan kita, jadi berhati-hatilah
Sedangkan beberapa hal yang tidak bisa saya kontrol adalah:
  1.       Penerimaan anak terhadap sufor yang saya berikan atas dasar saran dari dokter, seberapa banyak yang bisa dia minum dan seberapa sering. Saya bisa saja membiasakan dia, tetapi tetap saja penerimaan sepenuhnya kembali ke anak
  2.    . Kenaikan BB dan TB adalah 2 angka yang jauh dari kontrol saya, saya bisa saja menggali lebih dalam, tapi keluarga kami belum siap akan konsekuensinya, krn ttp saja, ini belum masuk kategori gawat darurat
  3.     .    Komentar orang lain yang mengetetahui kondisi keluarga kami dan keputusan yang telah kami ambil, ada yang mengecilkan masalah kami atau malah menganggap kami khawatir berlebihan

Setelah dicari penyebab, diketahui ada indikasi medis, diobati, ditambah susu formula, tentu saja idealisme saya tetap menginginkan anak saya familiar dengan proses makan sehari-hari, karena ini sama saja dengan menanamkan basic life skill yang akan dibawanya hingga besar kelak. Tetapi tentu saja dengan kadar yang sesuai dengan kapabilitas saya dan dengan memperhatikan apa yang bisa saya kontrol, yaitu:

CONTROLABLE
  1.           Membiasakan duduk di kursi, menetapkan jam makan, dan memvariasikan masaka
  2.       Lapang dada jika makanan saya akan terbuang begitu saja karena ternyata tidak sesuai dengan selera anak
  3.   Menyiapkan mpasi instan yang anak saya sukai, persiapannya cepat dan kemungkinannya besar anak saya mau, karena tetap saja, menurut saya, yang terpenting adalah anak saya makan, saya sudah menawarkan mpasi homade, tetapi jika dia tidak mau, malah tidak makan sama sekali, mpasi instan juga sehat kok, walaupu memang mpasi homade yang nutrisinya tertakar ttp yg terbaik

UNCONTROLABLE:
  1.    Preferensi anak saya terhadap rasa dan jenis makanan. Bayi juga manusia, seleranya bahkan bisa berubah drastis dalam kurun 1 minggu. Saya sudah bisa menerima ini, dan lapang dada jika masakan saya ditolak mentah-mentah, hahaha
  2.      Moodnya ketika makan,. Stop asking why, karena anak masih sangat moody dan kita memang tidak diperuntukan selalu tau penybab ketidaknyamanan dia. Kita hanya bisa menerima, sabar dan berusaha menghiburnya  
  3.      Kuantitas makanan yang mau dia makan. Bisa saja dia mau makan sebanyak setengah porsi atau malah hanya 2-3 sendok saja, its okay

Saya mulai meninggalkan idealisme saya yang tidak mau menggunakan sufor, awalnya saya mau memaksimalkan pemberian asi, tetapi, saya mulai menerima kenyataan bahwa untuk kondisi khusus anak saya, asi bukan menjadi yang paling dia butuhkan. Saya menjadi sangat terbantu karena merasa aman dengan memberikan sufor untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya yang tidak bisa didapatkan dari asi dan mpasi.
Setelah saya mulai menyadari apa yang bisa saya kontrol dan tidak bisa saya kontrol, saya menjadi lebih ringan dalam menjalani peran sebagi ibu. Saya juga mulai berhenti melabeli negative diri saya, ibu tidak becuslah, dsb. Hal tersebut banyak mengangkat beban keseharian saya dan membuat saya menjadi lebih santai sehingga bisa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan optimal. There’s no more resentment nor disappointment. Hanya kepasarahan saja.