Monday, February 17, 2014

Bridge [Short story]


Aliran sungai mengeluarkan irama yang begitu sendu. Air yang mengalir dari tempat tinggi ke yang lebih rendah, berbenturan dengan apa saja lalu tetap mengalir. Aku menghela napas. Berat rasanya melihat air, entah kenapa kejernihannya menakutkan, membuat segalanya tampak sangat jelas. Namun jika terlalu keruh pun siapa yang berani nyebur? Gelap gulita mungkin di dalamnya.

Desah napasku menghasilkan embun. Dingin disini, penghujung musim gugur mulai menunjukkan cirinya. Namun penghujung rinduku bahkan tak keliatan tandanya. Ya, Aku sedang merindu. Merindu dengan vitalitas yang kau miliki, resah gelisah yang sering kau bagi, ketenangan dari sang ilahi yang kau pancarkan. Kau hidup. Seperti matahari, kau pun memberikan sinarmu kepadaku tuk bisa tumbuh.

Namun, bunuh saja rindu ini karena segala sesuatunya sudah sangat jelas sekarang, rindu itu tak kan ada penawarnya. Aku pasien kronis yang sudah divonis mati sebentar lagi. Jarak begitu kejam membunuhku secara perlahan. Kita yang menyukai jembatan ini mungkin sama-sama sedang merenung di suatu jembatan saat ini, iya memang! Tapi, aku sekarang di Tower Bridge sedangkan kau yang sering berkelana mungkin sedang di Banpo Bridge. Itu saja mungkin loh, mana ku tau dimana eksistensimu sekarang.

Kuhempaskan duka ini sering dengan ku benamkan kepalaku dalam-dalam ke dalam kedua telapak tanganku. Mencengkram kuat kepalaku sambil menahan keras agar tak ada tangis yang keluar. Setahun, dua tahun, hingga 10 tahun aku terus mengamati aliran air di jembatan yang berbeda-beda, namun begitu juga perbedaan eksistensi di antara kita semakin kentara. Kau bagai diciptakan sebagai matahari dan aku unsur hara. Kita memang terkoneksi, tapi eksistensi kita berbeda makna. Aku ingin mendekapmu bagai awan. Aku ingin bersamamu bagaikan titik noktah hitam di permukaanmu. Aku ingin menjadi sesuatu yang bisa kau sentuh, aku ingin menjadi seluruh harapan sang punjaga persis seperti apa yang tertulis di lirik lagu Dealovonya-Once. Rindunya aku, bisa gila rasanya.

 Senja lambat laun muncul, bagai tinta jinga yang ditumpahkan ke dalam kaleng air, air di bawah jembatan ini terhampar bagai emas lumer. Entah, keterbatasan kemampuanku mendeskripsikan membuat keindahannya tak dapat terpapar dengan semestinya, aku memang pujangga yang payah. Lagi-lagi, ada saja yang membuatku mengingat kamu. Sungai, jembatan, senja jingga, lantas bisa ku sebutkan seribu satu hal lain nya.

Lamunanku di atas jembatan ini tak kan berujung jika aku tak memaksa tuk menyadarkan diri. Hari demi hari harus terus ku songsong. Harus kupaksa kaki ini tuk melangkah jauh dari jembatan, harus kulukai khayalan ini demi kembali. Karena rindu itu menjadi penyakit yang membunuh, namun aku lah sang immortal. Yang tak kunjung mati karena merindu.

Saturday, February 8, 2014

The Voices


Begitu malam datang, denting jam semakin terdengar jelas karena kesunyian yang ditimbulkan oleh tengah malam, Aku masih sering terjaga sambil membaca novel setebal dua ratus sampai tiga ratus halaman yang bertemakan cinta, komedi, atau bahkan fantasi. Bisa saja aku terjaga sambil memperhatikan deretan foto di instagram atau tweet-tweet yang tidak begitu penting yang bisa aku scroll terus di timeline ku.

Keheningan membuatku nyaman membaca kata demi kata dari novel yang aku baca. Kata demi kata itu mengalir masuk ke dalam imajinasiku dan membentuk sebuah bayangan, yang aku harapkan sesuai dengan apa yang ingin digambarkan oleh sang penulis melalui novelnya.

Kelopak mataku mulai terlalu sering berkedip, menandakan kelelahan yang semakin tak tertahankan. Namun aku masih penasaran untuk terus melanjutkan membaca. Hingga akhirnya, suara itu datang lagi. Suara dari sudut-sudut luar kamarku, yang begitu intens dan nyata. Sering membuatku mengerutkan dahi, berpikir apa atau siapa yang membuat suara seberisik itu. Suara berisik yang muncul beberapa malam sekali ketika aku masih terjaga hingga lewat dari jam sepuluh malam, ketika ibu dan kedua adikku telah terlelap di dalam kamar mereka masing-masing, atau ya itulah anggapanku sampai sekarang. Suara itu sungguh mengusikku, namun entah kenapa anehnya suara itu seperti hanya ditujukan untukku. Maksudku adalah, bahwa tiada ada seorang pun yang terlihat terganggu dengan suara-suara tersebut, kecuali aku. Atau mereka terganggu namun tak mau repot-repot turun dari kasur mereka yang hangat dan menginjak lantai yang dingin karena udara malam lalu mengecek sumber suara? Entahlah, yang pasti aku penasaran.

Namun rasa penasaranku tetap tak mampu menggerakan aku untuk bergerak, keluar dari dalam balutan selimut hangat dari pinggang hingga ujung kakiku. Aku terlalu malas untuk perduli. Apapun suara itu, apapun maksudnya dan apakah memang memang aku yang hanya mendengarnya, aku masih tak ingin terlalu mengerti. Bahkan kalau aku mau mengingat-ngingat, suara itu pernah sekali menegurku. Menegurku secara harfiah dengan menyuruhku berhati-hati untuk melangkah. Ya waktu itu, ketika aku masih terjaga lewat tengah malam, tiba-tiba saja listrik padam dengan mejengkelkannya. Aku lagi asyik-asyik mendengarkan musik dan tiba-tiba semua gelap. Aku tak panik, namun aku tetap keluar kamar dan dengan meraba-raba sekelilingku mencoba mencari lilin dan pematik. Namun dengan kecerobohanku aku menabarak sesuatu yang entah itu apa sehingga membuatnya terjatuh dan menimbulkan suara seperti metal yang dihantam batu. klontang. Hati-hati! Aku membatu beberapa detik. Menyadari bahwa mata ini sudah berhasil beradaptasi dengan kegelapan dan membuatku mampu melihat sekeliling dengan lumayan jelas. Siapa itu? Suara laki-laki berat seperti terdengar dari luar rumahku, namun yang jelas itu bukan suara Kakekku yang tidur di bawah. Namun aku tak merasa takut, rasa penasaran yang datang hanya sebentar, aku tak ingin mencari tau siapa yang bicara. Yah, biarkan saja itu menjadi misteri. Toh tidak pernah menyulitkanku.

Mungkin ini pertanda atau apakah atau cuman sekedar keisengan Tuhan kepadaku. Aku tak mau repot-repot memikirkannya. Nanti juga penjelasan akan datang sendiri.
Itu pengalamanku, apa pengalamanmu??


Sunday, February 2, 2014

Penjengah yang Dermawan



Jemari lentik menari anggun di atas selembar benda putih yang biasa di sebut kertas. Menorehkan sagaris demi segaris hitam pekat yang membentuk suatu kesatuan. Gegempita hati begitu ingin ditumpahkannya. Karena suatu saat dia terbangun dari tidur dan sadar bahwa tameng transparan miliknya telah perlahan runtuh, meluruh seperti hujan yang sering bergemuruh di kota kenangan.

Guncangan dunia di dalam dirinya membuat dia sering termenung dan termangu dari pagi hingga malam. Figur nyaman yang telah dimilikinya pergi berlibur ke pulau subtropis. Menepikan dirinya yang tak kunjung menggunakan nalar. Geram dia mencari, sering dia hilang kendali.

Orang bilang dia gila karena tak pernah menerima. Dirinya yang berdiri di antara garis usai dan tak usai. Dirinya yang sering dikurung sejarah dan tak urung jengah dengan rayuan gombal sang sejarah.

Hingga akhirnya dia menjadi..... Seorang penjengah yang dermawan membagi cuma-cuma keraguannya.

Frekuensi dia, kamu, dan mereka tak selalu sama namun bisa saja menguatkan atau menghancurkan satu sama lain. Kau berani. Sedang dia bahkan takut mengeluarkan frekuensinya. Tak ada nilai yang berani dia pancarkan. Dia hanya punya sumber mungil dan ringkih yang dia sebut hati, masih berani dia sebut hati, yang bahkan begitu malasnya tuk menancarkan frekuensi. Frekuensi Hati.

Jemari lentik itu tak lagi membuat suatu sketsa. Di remukannya kertas tak berdosa itu. Hingga ketika di hamparkan lagi, tampak urat-urat di seluruh permukannya. Dilemparkannya kertas itu ke dalam kantong yang diberi nama masa lalu.

Hilang lah dia dalam kegaduhan yang dibuat dunia. Sesatlah dia ke dalam kehiru-pikukan kota kenangan. Cantik wajahnya, putih kulitnya. Sering disebut kembang desa lah dia.
Namun di balik meja sana, dia kerjanya hanya menggambar sketsa, lalu meremukan hasil karyanya.

Adalah dia seorang wanita yang telah kehilangan kedua sayapnya. Dicabut dengan paksa keduanya. Sehingga terlihat pangkal yang kemerahan dengan bulu-bulu halus seperti kapas.

Adalah dia yang telah dengan gegabah membiarkan tamu di teras hatinya, masuk ke dalam ruang berkapasitas satu orang saja. Mengambil semua taruhannya di atas meja judi. Wanita itu, tak memiliki apa-apa yang tersisa disana. Walau telah berjudi hampir dari sepertiga hidupnya.

Karena judi itulah dia tak menguntung apa-apa, bahkan berhutang sedemiakan besarnya.
Seusai itu pun, dia masih tertidur dan terbangun seperti itu saja.
Seperti itu...