Tuesday, March 31, 2015

Jiwa anak dan orang tua



Seorang anak tidak bisa memilih kapan dan dimana dia dilahirkan. Seorang anak lahir ke dunia benar-benar seperti kertas kosong yang putih bersih tanpa isi apapun. Seorang anak tidak bisa memilih siapakah kelak orang tuanya. Sejak pertama kali seorang bayi dihantarkan ke dunia melalui manusia lain, maka saat itulah detik pertamanya dimulai di dunia. Dia tidak diberi pilihan orang tua macam apa yang kelak akan membesarkannya, atau bahkan tidak akan membesarkannya sama sekali. Dia tidak lah diberikan pandangan apapun terhadap latar belakang orang tuanya. Apakah orang tuanya merupakan orang tua yang rukun? Orang tua yang sudah siap? Orang tua yang sudah dewasa? Orang tua yang sudah berencana? Tidak, semua itu bukan pilihan yang dia miliki. Namun, siapa dan apa orang tua mereka, merupakan awal dari masa hidup mereka, pondasi dari watak dan karakter mereka, awal dari segala perjalanan yang kelak akan ditempuh mereka di dunia dan kelak akan berdampak ke kehidupan abadi mereka di akhirat.
Anak merupakan titipan dari Tuhan. Analoginya, seorang bayi jika terlahir ke dunia merupakan jiwa yang dihantarkan oleh Tuhan agar bisa memiliki petualangannya sendiri di dunia. Melalui Rahim seorang manusia lain yang disebut ibunya, oleh benih yang diberikan seorang manusia lain yang disebut bapaknya, maka jiwa itu memiliki portal untuk masuk ke dunia. Sebagai seorang pengasuh sebuah jiwa yang dititipkan oleh Tuhan, pertanggung jawaban pasti lah ada dan oleh karena itu perencanaan seharusnya sudah dilakukan. Namun, jika melihat kenyataan yang ada di dunia ini, tidak sedikit kan Anak yang tidak diharapkan dan akhirnya tidak dirawat dengan selayaknya?
Anak tidak bisa memilih apakah mereka dititipkan kepada orang tua yang sudah membaca bervolume-volume buku parenting, apakah kepada orang tua yang bahkan belum berganti seragam sekolah ke putih abu-abu, apakah kepada orang tua yang sudah resmi menikah, apakah kepada orang tua yang cukup harta, apakah kepada orang tua yang punya kehidupan yang baik, sesungguhnya tidak ada pilihan yang tersedia bagi mereka sebelum mereka dihantarkan ke dunia ini, tidak ada.
Pertanyaannya adalah, lantas salah siapa jika anak yang kelak jadi manusia dewasa pada akhirnya tidak bisa menjadi seseorang yang mendapatkan kehidupan yang mencapai standar baik dan benar? Standar yang dibuat oleh komunitas, standar dibuat oleh masyarakat, standar yg dibuat oleh negara, standar yang dibuat oleh dunia, standar yang dibuat oleh Tuhan. Salah siapa?
Baik dan benar nya apapun di dunia ini, didapat pertama kali dari orang tua. Selanjutnya dari lingkungan. Anak menyerap apapun yang dilihat, didengar, diraba, diecap, dan dibaui oleh dirinya sehingga dia menampung informasi tersebut di dalam otaknya dan kelak dijadikan acuan dalam mengambil keputusan. Bagaimana pula jika baik dan benar  yang dia dapatkan ternyata salah?
Setelah dewasa, anak akan mulai menelaah kembali nilai-nilai yang mereka dapatkan terdahulu ketika mereka belum bisa membedakan salah dan benar sendirinya, ketiak mereka belum baligh. Disini daya analisis akan meningkat, dan pertimbangan pun mulai dilakukan. Nilai baik dan benar menjadi lebih bias, tidak ajeg dan tegas, banyak yang sudah menjadi relatif. Padahal sesungguhnya, bagi seorang yang beragama, maka nilai baik dan benar itu tidaklah ada yang relatif karena sudah tercantum dalam ayat-ayat dan ajaran agama. Sedangkan bagi yang berwarga negara maka baik dan benar sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan negara. Lantas bagaimana dengan seseorang yang tidak begitu baik diajarkan agama dan undang-undang oleh keluarganya? Oleh lingkungannya? Bukankah proses yang akan mereka alami menjadi lebih berliku dan rumit? Bukankah mereka akan tiba disaat ketika apa yang telah mereka pahami akan berbenturan dengan fakta-fakta dan informasi yang terdahulu mereka dapatkan, sehingga adanya proses analisis dan juga penelahan yang panjang sebelum bertindak, lalu hasil dari proses analisis belum tentu pula menghasilkan sesuatu yang tidak salah. Merupakan proses yang tidak sederhana bukan?
Anak merupakan kertas putih kosong begitu dia pertama kali tiba di dunia. Dapatkah pensil menuliskan kalimat dengan sendirinya diatas kertas kosong tersebut jika tidak ada tangan yang menuliskannya? Lantas bagaimana jika tangan tersebut tak pandai menulis kalimat dan cerita yang baik? Bagaimana jika tangan tersebut merupakan penulis yang buruk? Lebih parahnya lagi bagaimana jika tangan tersebut tak tau bagaimana caranya menulis? Tak tau apa itu huruf dan angka? Tak tau apa itu pensil? Bagaimana proses yang akan diamali oleh kertas tersebut agar bisa menjadi suatu buku dengan cerita yang indah di dalamnya jika pensil dituliskan secara asal oleh tangan-tangan jahil dan perusak? Bahkan malaikat pun mempertanyakan kepada Tuhan tentang diturunkannya manusia ke bumi yang cenderung menjadi perusak dan pemicu pertumpahan darah.
Anak memang diperuntukan untuk berjuang. Anak yang sudah dewasa dan beruntung dapat memiliki hidup yang baik diberikan kesempatan untuk mempersiapkan kehidupan yang baik pula bagi anak penerus mereka. Itulah prinsip reproduksi. Proses menghasilkan keturunan untuk meneruskan diri mereka, untuk mempertahankan generasi mereka. Apakah setiap manusia ingin mempertahankan generasi mereka? Generasi apa yang ingin mereka pertahankan? Adakah hal yang patut untuk dipertahankan? Adakah sesuatu yang dapat membawa kebermanfaatan bagi dunia jika generasi tersebut terlestarikan? Jawabannya adalah bisa ya dan bisa tidak.
Kita sebagai manusia kelak akan menjadi orang tua, itupun jika kita menginginkan hal tersebut. Menjadi orang tua bukan lah hal yang melankolis terkait hati dan perasaan. Namun menjadi orang tua, apalagi orang tua kandung yang bereproduksi secara langsung, merupakan bentuk pertahanan yang kita lakukan untuk meneruskan eksistensi kita sebagai manusia di dunia ini. Melalui anak kita, maka Tuhan mengizinkan ktia untuk bisa mempertahankan eksistensi kita melalui genetic yang dibawa mareka ketika kelak kita sudah memasuki kehidupan abadi selanjutnya yang tidak ada jaminan apakah masih ada yang namanya eksistensi di kehiduapn abadi tersebut.
                Orang tua dan anak merupakan jiwa-jiwa yang terjebak dalam tubuh yang dapat menua dan mati. Namun jiwa itu tetap abadi hingga di kehidupan setelah tubuh tidak lagi dapat berfungsi. Manusia adalah jiwa dan tubuh ketika menjadi satu. Ketika tubuh sudah tak sanggup menampung jiwa, karena jiwa adalah suatu yang immortal sedangkan tubuh adalah suatu yang mortal, maka di saat itulah keabadian yang dapat disadari dimulai dan sebutan manusia berubah menjadi ruh.
Pendapat Saya adalah, menjadi orang tua sudah tentu bukan sesuatu yang mudah. Ya, proses untuk mempertahankan eksistensi merupakan sesuatu yang berliku. Namun, ini bukan eogisme semata dengan tujuan untuk mempertahankan eksistensi diri sendiri, ini lebih kepada dimana jiwa-jiwa akan mengajari seorang jiwa baru agar bisa hidup dengan selayaknya di dunia. Dimana kelak peran akan selalu terganti dan siklus di dunia akan selalu berputar sehingga tidak ada benang merah yang terputus. Sehingga dunia akan terus terurus dengan baik dan menjadi lahan layak tinggal bagi jiwa-jiwa baru. Namun ketika kiamat tiba, maka mungkin itulah batas dari kedatangan jiwa-jiwa baru di dunia yang sekarang kita tinggali. Dimana reproduksi jiwa, mungkin sudah tidak dibutuhkan lagi. Jiwa hanya akan menjadi jiwa tanpa sebutan anak ataupun orang tua.


No comments:

Post a Comment